Wajah Bengkak dan Sembab, Kukira Hanya Alergi Biasa, Ternyata Anak Divonis Sindrom Nefrotik (Ginjal Bocor)

Wajah Bengkak dan Sembab, Kukira Hanya Alergi Biasa, Ternyata Anak Divonis Sindrom Nefrotik (Ginjal Bocor)

jeweliteracy.com – Akhir-akhir ini semakin sering mendengar pemberitaan di media tentang banyaknya kasus anak kecil bahkan bayi yang mengalami masalah ginjal bahkan sampai cuci darah. Rasanya tidak sampai hati jika mendengar anak kecil sudah bermasalah dengan organ ginjalnya. Sebagai seorang ibu, rasanya terenyuh melihat anak-anak yang harus menjalani pengobatan karena masalah kesehatan yang serius seperti masalah ginjal.

Oiya, saya seorang ibu dengan 3 orang anak. Tentu saya juga memiliki kekhawatiran dengan banyaknya berbagai penyakit-penyakit di luar sana, saya selalu berdoa supaya anak-anak kecilku selalu Tuhan lindungi dan jauhkan dari segala sakit penyakit. Kadang, saat saya sedang membuka media sosial dan lalu menemukan lagi berita-berita tentang masalah ginjal pada anak, saya memilih untuk skip saking tidak sanggup membaca berita tersebut.

Sampai akhirnya….
Pada awal bulan Agustus 2024, sehabis bangun pagi bayiku mengalami bengkak dan sembab pada wajahnya. Berhubung anak saya ada riwayat alergi, saya pun mengira kalau alerginya sedang kambuh. Siang ke sore hingga malam hari, bengkak dan sembab di wajahnya akan hilang. Namun, besok paginya muncul kembali. Saya curiga jika anak saya digigit semut atau serangga pada saat tidur, jadi saya memutuskan untuk membongkar kasur dan membersihkan semua lemari dan tikar yang ada di kamar. Seperti sebelumnya, bengkak dan sembab di wajah anak saya hilang ketika siang ke sore dan malam hari. Begitu berulang-ulang, hilang dan timbul selama kurang lebih 2 (dua) minggu, sampai akhirnya saya mulai curiga ada yang tidak beres. Perasaan saya mulai tidak enak, naluri saya sebagai ibu membuat perasaan saya amat sangat tidak tenang. Saya mulai browsing-browsing di internet, saya mencari tahu ada apa dengan anak saya dengan kata kunci bengkak dan sembab di wajah anak. Semua hasil pencarian saya mengarah ke masalah ginjal. Saya terdiam dan ingin menangis rasanya. Hati saya denial. Tidak mungkin, pikirku. Suami juga merasakan sesuatu yang tidak beres dengan anak saya itu.

Akhirnya, kami putuskan bawa anak ke klinik dokter umum. Namun, oleh dokter umum disarankan untuk dirujuk ke dokter spesialis anak (DSA) untuk keesokan harinya. Saya sempat menanyakan kepada beliau kira-kira ada apa dengan anak saya dan dokter tersebut menjawab kalau gejala yang dialami anak ini kemungkinan besar adalah masalah di ginjal. Saya langsung terdiam, air mata saya ingin menetes, saya ingin teriak rasanya. Saya pun langsung pamit tanpa membawa surat rujukan dari dokter tersebut. Saya tidak ingin menunda barang seharipun. Saya putuskan sore itu langsung mencari klinik dokter spesialis anak (DSA). Sesampai di klinik DSA, saya mulai menjelaskan apa yang dialami oleh anak saya, sambil memegang dan menekan beberapa bagian tubuh anak yang lagi bengkak, dokter berkata, “ini masalah ginjal, bu.” Nyes.. Dada saya langsung terasa sesak. apa yang saya khawatirkan benar-benar menjadi kenyataan. Anak bayi saya mengalami masalah ginjal. Dokter langsung membuatkan rujukan ke RS supaya anak saya dilakukan tes urine dan tes darah

Sepulang dari klinik DSA tersebut, kami langsung menuju IGD RSUD yang ada di kota kami yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Anak saya langsung disuruh diambil urine dan diambil darahnya untuk pemeriksaan lebih lanjut. Setelah kurang lebih 2 (dua) jam menunggu hasil, akhirnya dokter IGD menemui kami. “Hasil tes urine, ditemukan protein urine positif 3 (tiga) artinya ada kebocoran pada ginjal anak. Anak ibu harus dirawat inap…”

Anak saya sempat dirawat selama beberapa hari dan akhirnya bisa pulang dengan pengobatan rawat jalan. Kami juga memutuskan membawa anak ke Malaysia untuk konsultasi dengan Nefrolog Anak untuk second opinion supaya lebih pasti. Diagnosa oleh Nefrolog Anak di RS Malaysia juga sudah tegak adalah Sindrom Nefrotik (SN). Mereka memberikan opsi apakah anak akan berobat di sana atau mau di Indonesia saja. Kami memutuskan untuk melanjutkan pengobatan di kota kami di Tanjungpinang saja.

Beberapa hari kemudian, anak saya kembali dirawat inap di RS karena badannya kembali bengkak-bengkak bahkan lebih parah dari sebelumnya. Anak saya dirawat selama satu minggu sampai akhirnya diizinkan pulang setelah hasil tes urine dan tes darah sudah menunjukkan perbaikan. Dokter menyampaikan jika anak saya akan menjalani pengobatan rawat jalan sampai benar-benar lepas obat dan harus rutin kontrol ke RS. Satu minggu pertama pasca rawat inap, saya membawa anak untuk kontrol. Dokter berpesan supaya anak benar-benar diperhatikan makan minumnya dan waktu istirahatnya untuk meminimalisir potensi relaps (kambuh). Satu minggu kemudian, anak saya mulai lagi menunjukkan tanda-tanda bengkak dan sembab di wajahnya. Pada saat jadwal kontrol selanjutnya, dokter pun sangat menyayangkan keadaan anak saya dimana anak saya mengalami bengkak padahal anak belum dilakukan penurunan dosis obat. Dokter sudah mewanti-wanti anak saya mengarah ke resisten terhadap steroid (terapi obat yang sedang dijalani saat itu). Anak saya lanjut berobat jalan dengan menjalani terapi obat dengan steroid total selama 6 (enam) minggu sejak keluar dari RS pasca rawat inap. Namun, pada saat kontrol setelah 6 minggu tersebut, malah anak saya mengalami bengkak dan sembab dan protein urine kembali lagi positif 3 (tiga). Dokter sudah menyatakan anak saya Sindrom Nefrotik Resisten Steroid sehingga treatmentnya harus diganti. Dokter akhirnya harus merujuk anak saya ke RS yang memiliki DSA Subspesialis Ginjal (Nefrolog Anak).

Oleh Nefrolog Anak di RS tempat rujukan, kemudian diputuskan pengobatannya adalah kemoterapi CPA. Anak saya harus menjalani kemoterapi 6-7 kali dengan rentang sekali kemoterapi dalam sebulan. Anak saya harus rutin minum obat dan kontrol ke dokter di RS. Can you guys imagine it? My heart’s broken into pieces.

Bukan hanya itu yang membuat perasaan saya sebagai seorang ibu menjadi hancur berkeping-keping. Saya membaca dan mempelajari berbagai jurnal dan penelitian tentang SN. Namun, mempelajari segala hal tentang SN serta prognosisnya membuat saya malah jadi sering meneteskan air mata. Bagaimana tidak, SN ini ternyata bukanlah sebuah penyakit yang “mudah” disembuhkan. Bahkan, dokter sendiri menyatakan bahwa istilahnya bukanlah sembuh, namun remisi. Karena, masih ada kemungkinan untuk relaps (kambuh) di masa yang akan datang. Apalagi riwayat anak saya adalah Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS).

Anak saya harus saya jaga dengan sedemikian protektif karena fisiknya yang menjadi rentan terhadap infeksi. Apalagi jika anak terkena infeksi penyakit lain, sebut saja batuk, pilek, diare, dan demam maka SN nya akan kambuh dan menjadi semakin sulit disembuhkan. Anak tidak boleh stress, tidak boleh kecapekan, harus diet garam dan tinggi kolesterol, harus menghindari makanan berpengawet, sosis, keju, makanan kemasan, junkfood, frozen food, bersoda, minuman berwarna, dan masih banyak lagi.

Sungguh tidak mudah bagi saya menerima kenyataan ini. Bahkan sudah berjalan selama 3 (tiga) bulan, saya masih sering marah sama Tuhan dan mempertanyakan kenapa harus anak saya. Kadang saya protes, dari sekian juta anak di dunia ini kenapa justru harus anak saya? Anak saya masih usia 19 bulan saat awal terkena gejala SN. Seumur itu, anak saya hanya minum susu dan makan MPASI atau makanan yang saya masak sendiri. Lalu, kenapa bisa anak saya terkena masalah ginjal?
Setiap kali saya mengajukan pertanyaan ke dokter, mereka pun selalu menjawab “sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa penyebabnya…” Ah, sungguh tidak adil rasanya

Rutinitas membawa anak kontrol ke RS sering diberikan pertanyaan oleh orang-orang di sana.
“Siapa yang sakit, bu?”
“Anaknya sakit apa?”
Dan saya hanya bisa menjawab sekedarnya dengan sedikit senyuman yang terpaksa. Saya sangat tidak menyukai dikasihani oleh orang lain. Saya tidak ingin anak saya dikasihani oleh orang lain karena penyakitnya. Makanya, saya selalu membatasi komunikasi saya ketika menjawab-jawab pertanyaan seperti itu. Saya hanya tidak ingin membiarkan diri saya semakin emosional dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saya selalu ingin tampak kuat di depan anak saya, walau itu sangat mustahil. Bahkan, tiap kali perawat ingin mengambil darah anak saya, atau saat mereka ingin menyuntikkan obat-obatan lewat infus saja rasanya tulang-tulang saya sudah ngilu dan lemas tak berdaya. Ditambah lagi suara jeritan tangis anakku yang semakin mengoyak hati. Rasanya tidak ikhlas melihat anak terbaring di ranjang RS, di saat anak-anak seumurannya asyik bermain ke sana kemari, berlari-larian, berlompat-lompatan, dengan riang gembira dan tawa terbahak-bahak. Sedangkan anak saya?

Sampai akhirnya, konsultasi berulang-ulang dengan dokter setiap kali kontrol, sharing dengan para pejuang SN, dan sharing dengan para pendamping pasien SN sedikit membuka hati saya untuk berdamai dengan kenyataan yang harus saya jalani. Memang sungguh tidak mudah, hanya iman kepada Sang Pemilik Semesta yang membuat saya tetap berpengharapan demi kesembuhan anak saya yang amat saya sayangi dan cintai ini.

Mendampingi anak dengan sindrom nefrotik berarti juga harus siap menghadapi ketidakpastian. Sindrom ini bisa kambuh (relaps) sewaktu-waktu. Sebagai pendamping anak dengan SN, saya harus siap mental dan selalu waspada jika sewaktu-waktu anak akan kembali kambuh. Selain perawatan medis, mendampingi anak dengan sindrom nefrotik juga berarti memberikan dukungan emosional yang besar. Apalagi bayiku yang masih terlalu beliau untuk mengamali masalah ginjal ini. Saya harus selalu memastikan dia ceria dan tidak boleh banyak menangis atau tantrum karena itu akan sangat mempengaruhi kesehatannya

Perjuangan ini adalah perjalanan yang penuh liku-liku, tetapi juga sarat dengan pelajaran tentang arti keteguhan, harapan, dan cinta tanpa syarat. Di balik setiap tantangan, ada kekuatan untuk bertahan, dan di setiap langkah kecil menuju kesembuhan, ada harapan yang tidak pernah padam. Semangat! 🙏😇

(jwriting)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *